Minggu, 30 Agustus 2015

[Tahukah Anda..??] Ketika Mas Gagah Pergi

Ketika Mas Gagah Pergi


fenanote.blogspot.com - Oleh : Helvi Tyana Rosa

Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ni masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!

Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yg sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah jg sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untk anak-anak SMA.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yg menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yg baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.

Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film / konser musik / sekedar bercanda dgn teman-teman. Mas Gagah yg humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, / bergembira ria di Dufan Ancol.

Tak ada yg tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga / tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.

"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"

"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"

"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"

Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yg mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.

Pernah kutanyakan pd Mas Gagah mengapa ia belum jg punya pacar. Apa jawabnya?

"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak jg yg patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dlm pandanganku adlh cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tak pernah meninggalkan shalat!

Itulah Mas Gagah!

Tetapi seperti yg telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ni ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yg kubanggakan kini entah kemana…

"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!

"Assalaamu’alaikum!"seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.

"Matiin kasetnya!"kataku sewot.

"Lho memangnya kenapa?"

"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.

"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"

"Bodo!"

"Lho, kamar ni kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yg Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."

"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yg baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"

"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"

"Pokoknya kedengaran!"

"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dgn nasyid yg bahasa Indonesia / bahasa Inggris. Bagus lho!"

"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"

"Wah, ni nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion / Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dgn nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.

Oala.

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yg baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji / membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dgn senang hati menguraikan isi buku yg dibacanya, / malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok / baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yg tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah jg tak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos / kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!

Hal lain yg nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering jg Mama menegurnya.

"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"

"Lain gimana Ma?"

"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yg kayak cover boy itu…"

Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya jg lebih santun."

Ya, dlm pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dgn kemeja lengan panjang / baju koko yg dipadu dgn celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dgn supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng."

Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu jg kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia jg males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.

Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa maunya Mas Gagah?"

"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"

"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dgn nada yg amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yg lebih benar!"

Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"

Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"

Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tak pernah berjabatan tangan dgn wanita kecuali dgn mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."

Mas Gagah tersenyum.

"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.

"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untk mengerti ya dik manis?"

Dik manis? Coba untk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dgn mangkel.

Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku jg takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Tapi akhirnya aku tak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ni dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.

"Mau kemana Gita?"

"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."

"Ikut Mas aja yuk!"

"Ke mana? Ke tempat yg waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah jg aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yg kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dgn memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yg tak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yg biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dgn teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.

"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.

Dulu nggak ada teman Mas Gagah yg tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."

Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran / bahasa Arab… yaa begitu deh!

"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ni memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.

"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan / tekwan?" Suaraku yg keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.

"Husy, untk laki-laki ikhwan dan untk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra / Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa / Mas Gagah bukanlah orang-orang yg error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dgn baik dan benar. Kitanya aja yg belum ngerti dan sering salah paham."

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yg dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.

"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yg berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.

"Tik, aku kehilangan kamu. Aku jg kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ni aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ni denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dgn Mbak Ana.

"Mbak Ana?"

"Sepupuku yg kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.

"Hidayah."

"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dgn Mbak Ana!"

"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.

‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.

"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yg tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…

"Cuma lagi baca!"

"Buku apa?"

"Tumben kamu pingin tahu?"

"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.

"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yg tengah dibacanya dgn wajah yg setengah memerah.

"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dlm Islam" itu.

"Maaas…"

"Apa Dik Manis?"

"Gita akhwat bukan sih?"

"Memangnya kenapa?"

"Gita akhwat / bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dgn sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yg diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yg selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yg dulu.

Mas Gagah dgn semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yg tak pernah kulihat sebelumnya.

"Mas kok nangis?"

"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, jg berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dgn tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."

Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yg gagah dan tegar ni ternyata sangat perasa. Sangat peduli…

"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.

"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.

"Memangnya Gita ngerti yg Mas katakan?"

"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana jg pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tak begitu mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dpt hidayah.

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yg kami lakukan bersama kini berbeda dgn yg dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa / Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, / ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa jg ikut.

"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ni itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"

Pernah jg Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya jg begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu jg diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dlm Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia jg mewanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yg sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.

Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."

Memang sudah beberapa hari ni Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, jg dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.

"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dgn seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.

"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yg wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dgn Mas Gagah.

"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yg duduk di samping beliau senyum-senyum.

"Hidayah? Perasaan Gita duluan yg dpt hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.

"Lho! " Mas Gagah bengong.

Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yg diadakan FTUI untk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yg berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yg dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dgn baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yg disampaikannya jauh lebih bagus daripada yg dibawakan oleh kyai-kyai kondang / ustadz tenar yg biasa kudengar.

Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dlm era globalisasi. "Betapa Islam yg jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.

Lusa ulang tahunku. Dan hari ni sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yg rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.

Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yg memberi ceramah pd acara syukuran yg insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.

"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dgn riang.

"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama.

"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.

"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"

"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, / di Mesjid. "

"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.

Kugaruk-garuk kepalaku yg tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.

"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yg kupakai. Tersenyum pd Mama.

Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.

"Mungkin dlm perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.

Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.

"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.

Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum jg kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

"Kriiiinggg!" telpon berdering.

Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"

"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.

"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.

"Mas Gagaaaaahhhh" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dlm perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yg kudengar sebuah truk menghantam mobil yg dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dlm ruangan.

" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pd dokter dan suster di depanku.

Mama dgn lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."

Di pojok ruangan Papa dgn serius berbicara dgn dokter yg khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.

"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pd acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir.

Tapi tak ada yg menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yg biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.

"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yg manis. Mas..Gagah…" bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yg menunggui anaknya yg jg dlm kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."

Tak lama Dokter Joko yg menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."

"Gita…" suaraku serak menahan tangis.

Pergunakan waktu yg ada untk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.

"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.

Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yg basah kusentuhkan pd tangannya."

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.

"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yg separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.

"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.

"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka.

"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.

"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.

Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yg kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dgn senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi air mata yg jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pd Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yg jg diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pd ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yg terbaik bagi Mas Gagah.

"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, tapi tak terlalu pelan untk bisa kami dengar.

Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yg terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.


Epilog:

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.

Kupandangi kamar Mas Gagah yg kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yg selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yg menatapku. Puisi-puisi sufistik yg seolah bergema d iruangan ini.

Setitik air mataku jatuh lagi.

"Mas, Gita akhwat bukan sih?"

"Ya, insya Allah akhwat!"

"Yang bener?"

"Iya, dik manis!"

"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"

"Kok nanya gitu sih?"

"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"

"Ganteng kan?"

"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"

"Ya always dong, jihad itu…"

Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!

Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yg berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

All content at MY BLOG was found freely distributed on the internet and is presented for informational purposes only.
Images / photos / videos found in this site reserved by its respective owners.
We does not upload or host any files.
Home | DMCA | Contact