Kiprah Sultan Agung Tirtayasa dan Syeikh Nawawi Al-Bantani . Kiprah dua tokoh Banten : Sultan Agung Tirtayasa dan Syeikh Nawawi Albantani tak diragukan lagi dlm sejarah perjuangan bangsa ini, khususnya di bumi Banten. Kedua tokoh ni merupakan simbol dari kekuatan umaro jawara Sultan Agung Tirtayasa dan ilmuan, tokoh pendidik / ulama, Syeikh Nawawi Albantani yg mampu membangun peradaban di bumi Banten. Kolaborasi dua representasi masyarakat Banten ni telah membuktikan bahwa Banten telah menjadi wilayah yg berperadaban di jamannya, baik dari tradisi penyenggaraan good governace maupun tradisi intelektualnya. Dua tokoh besar yg dilahirkan di bumi Banten ni telah diabadikan namanya menjadi masjid kampus Untirta Syeikh Nawawi AlBantani dan nama kampus kebanggaan masyarakat Banten Universitas Sultan Agung Tirtayasa.
Sultan Agung Tirtayasa. |
Sultan Agung Tirtayasa |
Sultan Agung Tirtayasa (Banten, 1631 - 1683) adlh putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yg menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yg bergelar Pangeran Ratu / Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dgn gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Agung Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten
Riwayat Perjuangan Sultan Agung Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pd periode 1651 - 1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yg merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ni dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Agung Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dgn membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan. Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dgn bersekutu dgn Sultan Haji untk menyingkirkan Sultan Agung Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dgn mengirim pasukan yg dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
Silsilah Sultan Agung Tirtayasa Sultan Agung Tirtayasa @ Sultan 'Abdul Fathi Abdul Fattah bin Sultan Abul Ma'ali bin Sultan Abul Mafakhir bin Sultan Maulana Muhammad Nashruddin bin Sultan Maulana Yusuf bin Sultan Maulana Hasanuddin bin Sultan Syarif Hidayatullah @ Sunan Gunung Jati Cirebon
MASA KEPEMIMPINAN SULTAN AGUNG TIRTAYASA Sepeninggalnya Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir pd 10 Maret 1651, dan kedudukannya sebagai Sultan Banten digantikan oleh Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, ketegangan dgn VOC terus berlanjut. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa puncak konflik dgn VOC terjadi ketika Kesultanan Banten berada di bawah kekuasaan Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya yg memiliki gelar Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina Al Arifin / lebih dikenal dgn Sultan Agung Tirtayasa (1651-1684). Firman V dlm tulisannya menggambarkan sosok Sultan Agung Tirtayasa, sejak muda, ketika masih menjabat Sultan-muda dan sebelumnya, sudah dikenal di kalangan masyarakat sebagai salah seorang putera bangsawan yg menyukai seni buday, memiliki ketaatan kepada ajaran agama. Beliau mampu melakukan permainan semacam wayang wong, dan permainan dedewaan. Demikian pula ia senang akan main sasaptonan yg agaknya pd masa itu merupakan permainan yg amat digemari di kalangan bangsawan dan rakyat. Dari sini kita bisa melihat bagaimana Sultan Agung Tirtayasa begitu menghargai kebudayaan sebagai bagian tak terpisahkan dlm kesehariannya. Ketika menjadi raja Banten, Sultan Agung Tirtayasa dikenal cerdas dan menghargai pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dgn pesat. Di komplek Masjid Agung dibangun sebuah madrasah yg dimaksudkan untk mencetak pemimpin rakyat yg saleh dan taat beragama, demikian jg di beberapa daerah lainnya. Untuk mempertinggi ilmu keagamaan dan membina mental rakyat serta prajurit Banten didatangkan guru-guru dari Aceh, Arab dan daerah lainnya. Salah satunya adlh seorang ulama dari Makasar, Syekh Yusuf Taju'l Khalwati, yg kemudian dijadikan Mufti Agung, guru dan mantu Sultan Abulfath (Hamka, 1982:38). Sultan membina hubungan baik dgn beberapa negara Islam seperti dgn Aceh dan Makasar, demikian jg dgn negara Islam di India, Mongol, Turki dan Mekkah. Sultan menyadari bahwa, untk menghadapi kompeni yg kuat dan penuh dgn taktik licik tidaklah mungkin dihadapi oleh Banten sendiri. Dalam kegiatan diplomatik, Sultan pernah mengirimkan utusan ke Ingris yg terdiri dari 31 orang dipimpin oleh Naya Wipraya dan Jaya Sedana pd tanggal 10 Nopember 1681. Utusan ni bukan saja sebagai kunjungan persahabatan tetapi jg sebagai upaya mencari bantuan persenjataan (Russel Jones, 1982). Demikian pesatnya usaha yg dilakukan Sultan 'Abulfath Abdul Fattah dlm membangun kemakmuran Banten, sebagai persiapan mengusir penjajah Belanda, sehingga Gubernur Jendral Ryklop van Goens, pengganti Gubernur Jendral Joan Matsuiyker, menulis dlm suratnya yg ditujukan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda tanggal 31 Januari 1679, bahwa "Yang amat perlu untk pembinaan negeri kita adlh penghancuran dan penghapusan Banten. … Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancur leburkan, / kompeni yg lenyap" (Tjandrasasmita, 1967:35).
Keteladanan Sultan Agung Tirtayasa Nilai-nilai yg dimunculkan dari Sultan Agung Tirtayasa. Sebagai seorang pemimpin, ia adlh pemimpin yg sangat amanah dan memiliki visi ke depan membangun bangsanya. Dilihat dari segi diplomasi, ia selalu menjaga jalinan kerjasama dlm bentuk politik maupun ekonomi yg saling menguntungkan. Munculnya VOC yg ingin memonopoli keadaan tentu membuat Sultan Agung Tirtayasa gelisah dan melakukan perlawanan. Ia selalu konfrontatif dgn ketidakadilan, ketidakberesan dan selalu konsekuen dgn kebenaran yg dipegangnya. Ia jg kukuh memertahankan martabatnya termasuk ketika ia harus berhadapan dgn Sultan Haji, darah dagingnya sekalipun. Sejarah keemasan kesultanan Banten, terjadi pd masa Sultan Agung Tirtayasa sekitar kurun waktu periode 1651-1682 M. Kedaulatan politik dan ekonominya benar-benar membawa kesultanan Banten menjadi kekuatan dunia yg disegani dan berpengaruh di Asia. Sultan Agung Tirtayasa adlh seorang pemimpin yg sangat visioner, ahli perencanaan wilayah dan tata kelola air, egaliter dan terbuka serta berwawasan internasional. Dalam buku sejarah Banten yg ditulis oleh Claude Guiilot digambarkan bahwa, Sultan Agung Tirtayasa adlh sultan Banten yg berinisiatif melakukan transfor-masi budaya dan pembangunan fasilitas fisik yg biasa berbasis kayu dan bambu menjadi berbasis batu beton. Untuk itu, Sultan tak segan mengangkat seorang arsitek asal Cina bernama Cakradana sebagai pimpinan proyek dlm alih teknologinya. Bahkan untk pembangunan bendungan untk teknologi tata kelola air untk irigasi persawahan mendatangkan seorang konsultan dari Belanda bernama Willem Caeff. Inilah potret seorang teknokrat visioner yg egaliter dan terbuka menerima IPTEK dari manapun datangnya untk kemaslahatan masyarakat banyak. Sultan dikenal sebagai ahli strategi perencanaan logistik andal di zamannya. Sultan membangun irigasi multifungsi. Irigasi bukan hanya untk kepentingan ekonomi pertanian, tapi jg sebagai jalur transportasi dan pertahanan Negara. Sultan mampu menciptakan konsep terpadu dlm menyiapkan infrastuktur, sehingga keterbatasan diubah menjadi keunggulan. Sultan memiliki idealisme untk melaku-kan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kezaliman penjajah Belanda sampai akhir hayatnya. Sultan Agung Tirtayasa selain seorang ahli strategi perang, ia pun menaruh perhatian besar terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di Banten. Untuk membina mental para prajurit Banten, didatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, dan daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebut adlh seorang ulama besar dari Makassar yg bernama Syekh Yusuf gelar Tuanta Salamaka / Syekh Yusuf Taju’l Khalwati, yg kemudian dijadikan mufti agung, sekaligus guru dan menantu Sultan Agung Tirtayasa. Selain mengembangkan perdagangan, Sultan Agung Tirtayasa berupaya jg untk memperluas wilayah pengaruh dan kekuasaan ke wilayah Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia. Politik ekspansi ni dilakukan oleh Sultan Agung Tirtayasa dgn tujuan untk mencegah perluasan wilayah kekuasaan Mataram dan perluasaan kekuasaan VOC yg dilakukan dgn cara memaksakan monopoli perdagangan di Banten. Sultan Agung Tirtayasa meneruskan usaha kakeknya mengirimkan tentara Banten untk melakukan gangguan-gangguan terhadap Batavia sebagai balasan bagi tindakan VOC yg terus-menerus merongrong kedaulatan Banten. Pada 1655, VOC mengajukan usul agar Sultan Banten segera memperbaharui perjanjian damai yg dibuat tahun 1645. Oleh Sultan Agung Tirtayasa usul itu ditolak karena selama VOC ingin menang sendiri, pembaharuan itu tak akan mendatangkan keuntungan bagi Banten. Usaha Sultan Agung Tirtayasa baik dlm bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dgn bangsa-bangsa lain semakin meningkat. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang asing dari Persi (Iran), India, Arab, Cina, Jepang, Pilipina, Malayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dgn bangsa-bangsa dari Eropa yg bersahabat dgn Inggris, Perancis, Denmark, dan Turki. Sultan Agung Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemegahannya. Di samping berhasil memajukan pertanian dgn sistem irigasi ia pun berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten menempatkan diri secara aktif dlm dunia perdagangan internasional di Asia.
Perlawanan Terhadap Ketidakadilan Dalam mengembangkan negaranya, Sultan Banten bukan tak menghadapi kesulitan dan tantangan. Kehidupan perniagaan biasa menimbulkan persaingan di kalangan kelompok-kelompok pedagang yg kadang-kadang merugikan dan menyulitkan Banten. Orang Belanda termasuk pedagang yg sering mendatangkan kesulitan bagi Banten. Armada Belanda yg berpangkalan di Batavia beberapa kali melakukan blokade terhadap pelabuhan Banten untk memaksakan kehendaknya guna menjalankan monopoli perdagangan, seperti terjadi tahun 1655 dan 1657. Bahkan tahun berikutnya (1658) terjadi bentrokan senjata selama sekitar satu tahun antara pasukan Banten dan VOC di daerah Angke, Tangerang, dan di perairan Banten. Selain itu, hubungan Banten dgn Mataram pun sering diwarnai oleh ketegangan, akibat besarnya keinginan Mataram untk berkuasa atas seluruh Pulau Jawa dan menjadikan Banten berada di bawah kekuasaannya, tetapi Banten selalu menolaknya. Hal itu terjadi, misalnya pd tahun 1628 dan 1649.47 Keadaan itu semua memaksakan Banten harus meningkatkan kekuatan militernya dan sering mengirimkan kelompok pasukan ke daerah perbatasan dgn Batavia dan Mataram.
Politik Bebas Aktif Banten menjalankan politik luar negeri yg bebas aktif. Banten membuka pintu kepada siapa pun yg mau berhubungan baik dan kerja sama dgn Kesultanan Banten. Sebaliknya, siapa pun akan dipandang tak bersahabat, bila mengganggu kedaulatan Banten. Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dgn berbagai pihak di sekitarnya / di tempat yg jauh sekalipun. Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dgn Trunojoyo yg sedang memberontak terhadap Mataram. Dalam pd itu, dgn Makasar, Bangka, Cirebon, dan Indrapura dijalin hubungan baik. Demikian pula hubungannya dgn Cirebon, sejak awal telah terjadi hubungan erat dgn Cirebon melalui pertalian keluarga (kedua keluarga keraton adlh keturunan Syarif Hidayatullah) dan kerjasama bidang keagamaan, militer, dan diplomatik. Dalam hal ini, Cirebon pernah membantu Banten dgn mengirim pasukan militer dlm upaya menduduki ibukota Kerajaan Sunda. Sebaliknya, Banten membantu Cirebon dlm membebaskan dua orang putera Panembahan Girilaya, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yg ditahan di ibu kota Mataram dan pasukan Trunojoyo di Kediri tahun 1677. Walaupun begitu, hubungan Banten dgn Cirebon pernah pula diwarnai oleh suasana lain. Jika terjadi konflik antara Banten dgn Mataram, Cirebon selalu bersikap netral, walaupun kadang-kadang Banten mendesak Cirebon agar memihak kepadanya dan kadang-kadang Mataram mendesak Cirebon agar berpihak kepadanya.50 Di samping itu, atas jasa Banten dlm membebaskan dan mengembalikan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya dari tahanan Mataram dan tentara Trunojoyo serta mengembalikan mereka ke Cirebon, bahkan mengangkatnya menjadi Sultan di Cirebon, sejak 1676 kekuasaan Banten masuk ke dlm keraton Cirebon. Hal ni berlangsung sampai tahun 1681, ketika Cirebon menjalin hubungan dan kerjasama dgn VOC. Selain membawa Banten ke puncak kejayaannya, era kepemimpinan Sultan Agung Tirtayasa diwarnai pula dgn konflik antara Banten dgn VOC yg semakin memuncak. Pada awalnya, Sultan Agung Tirtayasa berusaha mengajak Mataram untk secara bersama-sama menghadapi VOC. Akan tetapi, usaha tersebut gagal dilakukan seiring dgn lemahnya kepemimpinan Sunan Amangkurat II yg telah menandatangani perjanjian dgn VOC yg sangat merugikan Mataram. Dengan adanya perjanjian Sultan Agung Tirtayasa tak bisa memutuskan hubungan Mataram dgn VOC sehingga perhatiannya ditujukan terhadap Cirebon. Ia berupaya membangkitkan perlawanan rakyat Cirebon terhadap VOC, meskipun tetap mengalami kegagalan. Dengan demikian, Sultan Agung Tirtayasa harus berhadapan sendiri dgn VOC. Bersamaan dgn itu, Banten mengalami perpecahan dari dalam, putra mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yg dikenal dgn Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dlm negeri. Sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Agung Tirtayasa dan dibantu oleh putera lainnya, Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan ni tercium oleh wakil Belanda di Banten, W. Caeff yg kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji. Karena termakan hasutan VOC, Sultan Haji menuduh pembagian tugas ni sebagai upaya menyingkirkan dirinya dari tahta kesultanan. Agar tahta kesultanan tak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya, Sultan Haji kemudian bersekongkol dgn VOC untk merebut tahta kekuasaan Banten. Persekongkolan ni dilakukan oleh Sultan Haji setelah Sultan Agung Tirtayasa lebih banyak tinggal di keraton Tirtayasa. VOC, yg sangat ingin menguasai Banten, bersedia membantu Sultan Haji untk mendapatkan tahta kesultanan. Untuk itu, VOC mengajukan empat syarat yg mesti dipenuhi oleh Sultan Haji. Pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC. Kedua, VOC akan diizinkan untk memonopoli perdagangan lada di Banten dan Sultan Banten harus mengusir para pedagang Persia, India, dan Cina dari Banten. Ketiga, apabila ingkar janji, Kesultanan Banten harus membayar 600.000 ringgit kepada VOC. Keempat, pasukan Banten yg menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan harus segera ditarik kembali. Oleh karena dijanjikan akan segera menduduki tahta Kesultanan Banten, persyaratan tersebut diterima oleh Sultan Haji. Dengan bantuan pasukan VOC, pd tahun 1681 Sultan Haji melakukan kudeta kepada ayahnya dan berhasil menguasai istana Surosowan. Istama Surosowan tak hanya berfungis sebagai tempat kedudukan Sultan Haji, tetapi jg sebagai simbol telah tertanamnya kekuasaan VOC atas Banten. Melihat situasi politik tersebut, tanggal 27 Pebruari 1682 pasukan Sultan Agung Tirtayasa Istana Surosowan untk mengepung Sultan Haji dan VOC yg telah menduduki Istana Surosowan. Serangan itu dpt menguasai kembali Istana Surosowan dan Sultan Haji segera dibawa ke loji VOC serta mendapat perlindungan dari Jacob de Roy. Mengetahui bahwa Sultan Haji telah berada di bawah perlidungan VOC, pasukan Sultan Agung Tirtayasa bergerak menuju loji VOC untk menghancurkannya. Di bawah pimpinan Kapten Sloot dan W. Caeff, pasukan Sultan Haji bersama-sama dgn pasukan VOC mempertahankan loji itu dari kepungan pasukan Sultan Agung Tirtayasa. Akibat perlawanan yg sangat kuat dari pasukan Sultan Agung Tirtayasa, bantuan militer yg dikirim dari Batavia tak dpt mendarat di Banten. Akan tetapi, setelah ada kepastian bahwa VOC akan diberi izin monopoli perdagangan di Banten oleh Sultan Haji, pd 7 April 1682 bantuan dari Batavia itu memasuki Banten di bawah komando Tack dan De Saint Martin. Dengan kekuatan yg besar, pasukan VOC menyerang Keraton Surosowan dan Keraton Tirtayasa serta berhasil membebaskan loji VOC dari kepungan Sultan Agung Tirtayasa. Meskipun demikian, Sultan Agung Tirtayasa terus melakukan perlawanan hebat yg dibantu oleh orang-orang Makassar, Bali, dan Melayu. Markas besar pasukannya ada di Margasama yg diperkuat oleh sekitar 600 sampai 800 orang prajurit di bawah komando Pangeran Suriadiwangsa. Sementara itu, Pangeran Yogya mempertahankan daerah Kenari dgn kekuatan sekitar 400 orang; Kyai Arya Jungpati dgn jumlah pasukan sekitar 120 orang mempertahankan daerah Kartasana. Sekitar 400 orang mempertahankan daerah Serang; 400 sampai 500 orang mempertahankan daerah Jambangan; sebanyak 500 orang berupaya untk mempertahankan Tirtayasa; dan sekitar 100 orang memperkuat daerah Bojonglopang. Serangan hebat yg dilakukan oleh pasukan VOC berhasil mendesak barisan Banten sehingga Margasana, Kacirebonan, dan Tangerang dpt dikuasai jg oleh VOC. Sultan Agung kemudian mengundurkan diri ke Tirtayasa yg dijadikan pusat pertahanannya. Tanara dan Pontang jg diperkuat pertahanannya. Di Kademangan ada pasukan sekitar 1.200 orang di bawah pimpinan Arya Wangsadiraja. Mereka cukup lama dpt bertahan, tetapi pd tanggal 2 Desember 1682 Kademangan akhirnya jatuh jg setelah terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan. Dalam serangkaian pertempuran ni di kedua belah pihak banyak yg gugur. Sebagian pasukan Banten mengungsi ke Ciapus, Pagutan, dan Jasinga. Dengan jatuhnya pertahanan Kademangan, tinggal Tirtayasa yg menjadi bulan-bulanan VOC. Serangan umum dimulai dari daerah pantai menuju Tanara dan Tangkurak. Pada tanggal 28 Desember 1682 pasukan Jonker, Tack, dan Miichielsz menyerang Pontang, Tanara, dan Tirtayasa serta membakarnya. Ledakan-ledakan dan pembakaran menghancurkan keraton Tirtayasa. Akan tetapi Sultan Agung Tirtayasa berhasil menyelamatkan diri ke pedalaman. Pangeran Arya Purbaya jg berhasil lolos dgn selamat dgn terlebih dahulu membakar benteng dan keratonnya. Pihak VOC berusaha beberapa kali untk mencari Sultan Agung Tirtayasa dan membujuknya untk menghentikan perlawanan dan turun ke Banten. Untuk menangkap Sultan Agung Tirtayasa, VOC memerintahkan Sultan Haji untk menjemput ayahnya. Ia kemudian mengutus 52 orang keluarganya ke Ketos dan pd malam menjelang tanggal 14 Maret 1683 iring-iringan Sultan Agung Tirtayasa memasuki Istana Surosowan. Setibanya di Istana Surosowan, Sultan Haji dan VOC segera menangkap Sultan Agung Tirtayasa dan dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692. Penangkapan itu telah mengakhiri peperangan Banten melawan VOC sehingga berkibarlah kekuasaan VOC di wilayah Banten.
PENUTUP Karakter Sultan Agung Tirtayasa dan Syeikh Nawawi al-Bantani mewakili karakter kepemimpinan dan intelektual. Perpaduan karakter yg diperlukan dlm memimpin Universitas sebagai pusat keilmuan dan kepakaran serta pusat kaderisasi kepemiminan nasional. Karakter dimaksud antara lain tercermin dlm sembilan karakter unggul, yaitu:
- Cerdas, berpikir taktis dan strategis
- Pantang menyerah, memiliki integritas watak, dan konfrontatif terhadap kezaliman
- Inovatif dan kreatif
- Visioner, peduli terhadap pengembangan ilmu dan pendidikan
- Proaktif, responsif, dan berorientasi pd pelayanan
- Membuka diri dan mampu membaca tantangan zaman
- Komunikatif dan mampu bekerjasama
- Moderat dan menghargai kemajemukan, serta
- Menjaga nilai budaya lokal.
Tambahan :
Sultan Agung Tirtayasa pernah membangun Terusan Saluran Air Pontang - Tanara dgn Kyai Ngabehi Wangsanala sebagai Pemimpin Proyek.
Kyai Ngabehi Wangsanala adlh dari keluarga Sultan dgn gelar kehormatan
Suryadiwangsa dan jabatannya sebagai Menteri Negara.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar