Minggu, 30 Agustus 2015

[Tahukah Anda..??] Apakah Panitia Qurban Boleh Menerima Daging Qurban?

Apakah Panitia Qurban Boleh Menerima Daging Qurban?

fenanote.blogspot.com - Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du.

SEBUAH KASUS

Dalam tradisi masyarakat Indonesia tiap merayakan Idul Adha, biasa memberikan daging qurban kepada panitia pengurus hewan qurban, sehingga mereka mendapatkan bagian daging, boleh mengonsumsi, dan memanfaatkannya. Tapi ada studi fiqih di suatu majalah Islam yg berpendapat berbeda. Dalam studi itu dikatakan, panitia qurban tak berhak mendapatkan daging qurban. Pertimbangannya, daging qurban tak boleh diberikan kepada panitia sebagai upah atas jerih-payahnya mengelola hewan qurban. Daging qurban harus didistribusikan secara sempurna, tanpa ada yg dijual, tanpa ada yg diberikan sebagai upah. Dalam pandangan ini, kalau panitia bekerja mengelola qurban, cukup bekerja saja; tak perlu berharap akan mendapat bagian daging. Andaikan panitia harus menerima daging, ia diberikan kepada isterinya, bukan ke tangan panitia itu sendiri.

Saat saya berbicara dgn seorang Ketua DKM, di masjid dekat rumah, sikapnya lebih ketat lagi. Bapak itu selama ni mengelola hewan qurban dgn mengeluarkan biaya-biaya operasional. Sementara dia sendiri tak mengonsumsi sedikit pun daging qurban. Alasannya, dia hanya menerima amanat untk menyembelih dan membagikan, bukan untk mengonsumsi.


Berkah dari Langit untk Ummat Ini.

IMPLIKASI SOSIAL

Pandangan dlm studi fiqih di atas bila menyebar luas di tengah masyarakat, tentu akan memiliki implikasi besar. Ia bisa menmbulkan keresahan tersendiri. Bila pandangan itu diamalkan, maka para panitia qurban dilarang menerima daging / pembagian manfaat apapun dari hewan qurban. Bisa jadi mereka akan memilih menjadi masyarakat biasa yg tak terlibat kepanitiaan, agar tetap bisa mendapatkan daging. Di sisi lain, pengadaan, penyembelihan, dan pembagian daging qurban akan berkembang secara KOMERSIAL. Maksudnya, tiap yg bekerja dgn hewan qurban menuntut upah secara profesional (komersial), dgn pertimbangan mereka tak berhak mendapatkan jatah daging sedikit pun.

Tentu saja, bukan seperti itu yg diharapkan dari syiar Idul Adha. Idul Adha adlh hari raya kaum Muslimin, hari kebanggaan, hari wibawa, hari kebahagiaan Ummat. Tidak semestinya momen ‘Idul Adh-ha dikembangkan dgn semangat komersialitas. Ia tetap harus dikembangkan dlm rangka syiar Islam, ketakwaan, keikhlasan, dan mencari berkah dari sisi Allah Ta’ala. Kalau iklim komersial yg berkembang, lambat-laun syiar udh-hiyah itu akan lenyap. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

INTI MASALAH

Di hadapan kita ada beberapa pertanyaan mendasar yg wajib dicarikan jawabannya menurut arahan Syariat Islam, yaitu: Bagaimana hukum panitia qurban yg menerima jatah pembagian daging qurban? Bolehkah / dilarangkah? Bagaimana hukumnya panitia qurban dan keluarganya mengonsumsi daging hewan qurban, / memanfaatkan apa yg diperoleh untk keperluan hidup mereka?

RUJUKAN

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya coba buka-buka beberapa referensi kitab fiqih yg ada di kami. Misalnya, Ringkasan Shahih Muslim karya Imam Al Mundziri; Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al Asqalani; Mulakhas Fiqhiy karya Syaikh Shalih Al Fauzan; Tafsir Ibnu Katsir, khususnya saat membahas Surat Al Hajj ayat 28 dan 36; Fiqh Islam karya H. Sulaiman Rasyid; dan buku Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama Jilid 1-3 karya Al Ustadz A. Hassan. Hanya saja, dlm buku terakhir tak saya jumpai pembahasan tentang kasus di atas.

PEMBAHASAN

Untuk menemukan jawaban yg memuaskan dari kasus yg disebutkan di awal tulisan ini, ada beberapa poin pembahasan yg perlu disampaikan. Secara berurutan disebutkan sebagai berikut:

[1] Pada dasarnya, panitia qurban BERHAK mendapatkan jatah daging qurban, berhak mengonsumsi, / mengambil manfaat dari hewan qurban yg dibagikan. Dalilnya sederhana, bahwa tak ada larangan dlm Al Qur’an / As Sunnah yg mengharamkan panitia mendapat jatah daging qurban. Kita tak pernah mendapati ayat Al Qur’an / hadits Nabi Saw yg mengatakan, misalnya, Barangsiapa bekerja mengatur urusan daging hewan qurban, dilarang memakan dagingnya, / mengambil manfaat apapun darinya. Tidak ada indikasi ke arah itu. Kaidah ushul yg berlaku disini, Al ‘ashlu fil asy-yai al ibadah (asal dari tiap sesuatu, selama tak ada yg larangan, ialah mubah / boleh). Tapi hukum ni belum memadai, sehingga perlu diberi penjelasan-penjelasan lain.

[2] Dalam Surat Al Hajj ayat 28 disebutkan, Fa kuluu mina wa ath-imul ba’itsil faqiir (maka makanlah hewan qurban itu dan berikanlah makan kepada orang-orang yg tertimpa kefakiran).

Terhadap ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah berkomentar, Sebagian orang berdalil dgn ayat ni atas wajibnya memakan daging qurban. Ini adlh pendapat yg asing. Akan tetapi pendapat yg paling banyak, bahwa makan daging qurban termasuk bab rukhsah (keringanan), / mustahab (lebih disukai).

Imam Malik rahimahullah berkata, Aku lebih suka makan hewan qurban, karena Allah Ta’ala berfirman, ‘Makanlah darinya!’ Ibnu Wahab berkata, Aku bertanya ke Laits, dia berkata seperti itu jg (sependapat dgn Imam Malik). Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, Dulu kaum musyrikin tak memakan daging sembelihan untk qurban. Maka diberi keringanan kepada kaum Muslimin. Siapa yg mau, silakan makan; siapa yg tak mau, tak usah makan. Ibnu Jarir At Thabari rahimahullah jg menetapkan bolehnya memakan daging sembelihan qurban tersebut. Beliau meyitir ayat-ayat lain sebagai qiyas.

Singkat kata, lebih disukai jika kaum Muslimin mengonsumsi daging hewan qurban. Malah ada yg berpendapat, wajib mengonsumsi. Dengan demikian, jika para panitia hewan qurban itu Muslim, mereka lebih disukai mengonsumsi daging qurban.

[3] Surat Al Hajj ayat 28 diperkuat oleh ayat selanjutnya, Surat Al Hajj ayat 36. Disana dikatakan, Fa kuluu minha wa ath-imul qaa-ni’ wal mu’tar (maka makanlah dari daging qurban itu dan berikan makan kepada orang yg qana’ah (merasa cukup dgn apa yg ada pd diri mereka) dan orang yg meminta (diberi daging hewan qurban).

Atas ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan, Berkata sebagian Salaf, ‘Makanlah darinya!’ Ini perkara mubah. Imam Malik berpendapat, ia lebih disukai. Sebagian ulama Syafi’i menghukuminya wajib. (Perlu diingat, Imam Ibnu Katsir rahimahullah termasuk bermadzhab fiqih Syafi’iyyah).

Ketika menjelaskan makna, memberi makan kepada al qana’ dan al mu’tar, Ibnu Abbas Ra menjelaskan, Al qana’ ialah orang yg merasa cukup atas apa yg engkau berikan kepadanya, sedangkan dia ada di rumahnya (maksudnya, tak keluar rumah untk meminta-minta daging qurban). Al mu’tar ialah orang yg memohon kepadamu, mencelamu atas daging yg engkau berikan, dan tak meminta. Terjemah Depag. RI menyebut al qana’ sebagai yg rela dgn keadaan dirinya, sehingga tak perlu meminta-minta. Sedangkan al mu’tar, orang yg meminta diberi daging.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, Telah berhujjah dgn ayat ni sebagian ulama, bahwa hasil sembelihan qurban dibagi 3 bagian: 1/3 untk yg berqurban, 1/3 untk dihadiahkan kepada teman-temannya, dan 1/3 lagi disedekahkan untk fakir-miskin.

Syaikh Shalih Al Fauzan berpendapat, Lebih disukai makan hewan dari hadyu, jika hadyu untk Haji Tamattu’ dan Qiran. Dan disukai makan dari hewan qurban, diberikan sebagai hadiah, dan disedekahkan, sepertiga-sepertiga. Seperti firman Allah, ‘Maka makanlah darinya dan berikan makan.’ (Mulakhas Fiqhiy. Juz I, hal 317).

Dengan penjelasan Surat Al Hajj ayat 38 ini, maka hukum memakan daging qurban bagi kaum Muslimin, bersifat lapang. Ia boleh diberikan kepada manusia yg meminta dan yg tak meminta. Boleh diberikan kepada kaum fakir-miskin, maupun orang kaya yg sehari-hari makan daging. Andaikan bukan karena rasa lezat dan kandungan gizi dari daging qurban, setidaknya bisa diambil berkahnya.

[4] Sebuah hadits dlm riwayat Imam Bukhari-Muslim. Anas Ra. berkata, Rasulullah Saw pernah berqurban dgn dua ekor kambing kibasy putih, yg telah tumbuh tanduknya. Aku pernah melihat beliau menyembelih kedua kambing itu dgn tangannya, aku melihat beliau meletakkan kakinya di pangkal leher kedua domba itu, lalu membaca bismillah dan bertakbir. Dalam riwayat lain, Rasulullah meminta Aisyah Ra. memberikan beliau pisau tajam untk menyembelih hewan udh-hiyyah (qurban).

Disini didapat dalil, bahwa seseorang boleh menyembelih hewan qurban miliknya dgn tangannya sendiri. Malah cara seperti itu lebih baik, sesuai Sunnah Nabi Saw. Dan orang yg menyembelih ni tak diharamkan makan hasil sembelihan daging qurban-nya. Rasulullah Saw sendiri menyembelih, keluarganya lalu memasak dagingnya, dan beliau memakan hasil masakan itu. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz VI, hal. 307). Jadi, anggapan bahwa pihak yg menyembelih hewan qurban tak berhak makan daging qurban dimentahkan oleh riwayat-riwayat itu.

[5] Dalam hadits lain, masih riwayat Bukhari Muslim, disebutkan dlm Bulughul Maram, hadits no. 1166, tentang Kitab Adha-hiy. Dari Ali bin Abi Thalib Ra., dia berkata, Rasulullah Saw menyuruhku mengurus hewan sembelihannya (qurban). Beliau perintahkan aku membagikan dagingnya, kulitnya, bulunya, untk kaum fakir-miskin. Dan tak memberikan sedikit pun kepada tukang jagalnya.

Hadits ni sangat menarik, sebab dari riwayat ni kita bisa mengambil hikmah, bahwa kepanitiaan hewan qurban itu sudah ada sejak jaman Nabi Saw. Meskipun pd awalnya bersifat sederhana, dgn melibatkan Ali Ra sebagai pengelola dan pendistribusi hewan qurban tersebut.

Atas riwayat di atas As Shan’ani, penulis kitab Subulus Salam, memberikan penjelasan sebagai berikut, Kulit, bulu, daging hewan qurban harus dibagikan seluruhnya sebagai sedekah. Seseorang yg berqurban boleh memakan sebagian dagingnya, boleh mengambil kulitnya untk keperluan pribadi, dan tak untk dijual. Memberikan daging qurban kepada penjagal sebagai imbalan atas kerjanya, dilarang. Sebagian orang tak memberi upah sama sekali kepada tukang jagal, ni tak boleh. Kalau kemudian tukang jagal itu menerima upah tak seperti yg dia harapkan, itu diperbolehkan.

Disini didapat penjelasan, bahwa perintah tak memberikan daging kepada tukang jagal (al jizarah), ialah jika daging itu diberikan sebagai upah atas kerja tukang jagal tersebut. Padahal ketentuannya, semua bagian hewan qurban yg bisa dimanfaatkan dibagikan, bukan dijual, / dikonversikan menjadi upah kerja.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Saw bersabda, Jangan dijual daging hadyu dan daging qurban. Makanlah dagingnya, bersedekahlah dengannya, ambil manfaat dari kulitnya, jangan dijual kulit itu. (HR. Ahmad).

KESIMPULAN PENTING

Ada beberapa kesimpulan penting yg bisa ditarik disini, yaitu:

[a] Lebih utama bagi kaum Muslimin untk mengonsumsi daging hewan qurban.

[b] Daging hewan qurban diberikan kepada kaum Muslimin yg meminta (al mu’tar) dan yg tak meminta (al qana’). Keduanya berhak mendapatkan.

[c] Daging hewan qurban secara umum dibagi 3 bagian: 1/3 untk pihak yg berqurban; 1/3 untk kawan-kawan pihak yg berqurban, dan 1/3 lagi disedekahkan untk fakir-miskin.

[d] Hasil hewan qurban dibagikan seluruhnya, tak ada yg dijual dan tak ada yg diberikan sebagai upah dlm bentuk daging, kulit, / bulu.

[e] Tukang jagal yg bekerja menyembelih hewan qurban tak boleh diupah dgn daging qurban, kulit, / bulunya. Dia boleh diupah dgn harta yg lain. Apabila tak memberikan upah sama sekali, menurut As Shan’ani hal itu tak boleh.

[f] Tradisi mengurus hewan qurban, lalu membagikan ke masyarakat, sudah ada sejak jaman Rasulullah Saw. Dicontohkan dgn perbuatan Ali bin Abi Thalib Ra.

BAGAIMANA POSISI PANITIA QURBAN?

Sebagai kaum Muslimin, panitia qurban jelas berhak mendapatkan daging qurban, berhak menikmati, dan memanfaatkan hasil sembelihan qurban. Mereka adlh bagian dari kaum Muslimin yg berhak mendapat keberkahan Yaumun Nahr (hari raya Idul Adha).

Lebih kuat lagi, apabila mereka membutuhkan daging tersebut untk keperluan diri dan keluarganya. Hal ni benar-benar diperbolehkan (Surat Al Hajj ayat 36). Bahkan bila panitia itu tergolong fakir-miskin, mereka lebih berhak.

Adapun panitia yg ikut terlibat dlm mengurus hewan qurban, dlm rangka ingin mendapatkan bagian daging qurban, hal itu diperbolehkan. Bahkan, andaikan mereka duduk di rumah saja, mereka berhak diberi. Andaikan mereka meminta jatah daging, tanpa harus bekerja, itu jg diperbolehkan. Apalagi kalau sampai mereka ikut terlibat mensukseskan pengelolaan hewan qurban, mereka lebih diutamakan dari orang-orang yg hanya menunggu diberi daging.

Hanya saja, urusannya menjadi lain, kalau niat panitia bersifat komersial. Misalnya, dia terlibat mengurus hewan qurban semata-mata karena ingin MENDAPAT UPAH. Tentunya, upah itu dlm bentuk uang. Jika tak ada uang, dia menuntut supaya upah dikonversi dlm bentuk daging. Nah, perbuatan seperti ni yg tak diperbolehkan. Hasil daging qurban bukan untk upah.

Tetapi BEKERJA mencari upah sendiri bukan aib. Setiap Muslim boleh bekerja mencari upah demi kebaikan diri dan keluarganya. Hanya saja, kalau mencari upah saat mengelola hewan qurban, tak boleh meminta upah dgn cara dibayar daging, kulit, / bulu hewan qurban. Upah itu bisa berupa uang, / barang-barang lain yg disepakati, selain bagian hewan qurban. (Misalnya, upah diminta dlm bentuk korma, tepung roti, ikan, minyak, / apa saja di luar bagian hewan qurban).

Kalau ada panitia yg terlibat dgn niat mencari upah, harus diberikan upahnya. Dan hal itu harus dilakukan kesepakatan sebelum urusan pengelolaan hewan qurban dimulai. Adapun bagi yg mencari berkah dari rizki Allah berupa hewan qurban, harus diberikan bagiannya. Bahkan siapa yg tak mencari pun, asalkan Muslim dan jatah dagingnya mencukupi, berhak diberi pula.

Dan sebaik-baik niat terlibat dlm kepanitian qurban ialah dlm rangka mensukseskan syiar agama Allah di muka bumi. Niat demikian, selain mendapat pahala takwa, jg berhak mendapat berkah daging hewan qurban. Dalam Al Qur’an disebutkan, Dan siapa yg mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati. (Surat Al Hajj: 32).

Semoga kajian sederhana ni bermanfaat bagi Ummat; menghilangkan keragu-raguan di hati -atas ijin Allah-; bisa membantu meninggikan syiar agama Allah, dan ikut menanam saham bagi kekalkan barakah Idul Adha bagi kaum Muslimin. Semoga Allah Al Karim memuliakan kita semua. Amin Allahumma amin.

Wallahu A’lam bisshawaab.

Bandung, 13 November 2010.

AM. Waskito.

source : http://hipwee.com, http://bbc.co.uk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

All content at MY BLOG was found freely distributed on the internet and is presented for informational purposes only.
Images / photos / videos found in this site reserved by its respective owners.
We does not upload or host any files.
Home | DMCA | Contact