fenanote.blogspot.com - Pada salah satu pertemuan kuliah dgn Prof. DR. Jumah Ali Abdul Qadir (almarhum), beliau menceritakan pengalamannya ketika mengajar di Universitas Ummul Qura Makkah Al-Mukarramah khusus untk perempuan:
"Suatu kali ketika mengajarkan tafsir surat Ar-Rum ayat 4, saya bertanya kepada salah seorang mahasiswi, apa perbedaan antara kalimat () "bidhun" dgn meng-kasrah-kan huruf ba dan () "budhun" dgn men-dhammah-kan huruf ba?
Jawaban mahasiswi itu sangat mencengangkan. Jawaban yg menunjukkan dia seorang perempuan yg cerdas, paham, dihiasi oleh rasa malu dan kehormatan diri.
Mahasiswi itu berkata: "Adapun "bidhun" adlh bilangan antara 3 sampai 9, sedangkan "budhun" adlh sesuatu yg kita malu untk menyebutkannya di depan orang lain."
Jawaban ni sangat berkesan bagi saya sampai hari ini, ujar beliau melanjutkan cerita. Demikianlah seharusnya seorang yg mempunyai harga diri, ia harus menjaga bahasanya dari mengucapkan perkataan vulgar dan por*o. Terutama dlm majelis ilmu dan forum-forum resmi seperti itu. Lebih-lebih lagi bila di sana hadir laki-laki dan perempuan. Hendaknya dijaga perasaan perempuan yg lebih halus dan lebih pemalu dari pd laki-laki.
Sekalipun seorang guru / ustadz dituntut untk menyampaikan sesuatu yg memalukan bila disebut dgn terang-terangan, seperti permasalahan yg berhubungan dgn perkara fikih, ia akan berusaha untk mencari kosa kata yg bisa mewakili apa yg ia maksud, tapi terjauh dari bahasa yg tak pantas. Tapi orang yg mendengar tetap paham apa maksud perkataan itu."
Apa yg diajarkan oleh DR. Jumah Ali ni sebenarnya penjelasan dari ajaran Al-Quran dan sunnah Rasulullah. Di mana Al-Quran selalu memilih kosa kata yg sangat halus untk mengungkapkan hal-hal yg berhubungan dgn permasalahan laki-laki dan perempuan / suami-istri.
Contoh, ayat Al-Quran mengibaratkan istri itu dgn sawah ladang, dan pergaulan dengannya dipakai istilah bercocok tanam.
"Istri-istrimu adlh (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yg baik) untk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yg beriman." (Al-Baqarah: 223)
Maha Mulia Allah yg menggunakan kalimat yg sangat mulia karena Al-Quran akan dibaca dlm shalat dan tilawah.
Rasulullah pernah ditanya tentang seorang suami yg telah menceraikan istrinya sampai talak tiga, lalu mantan istrinya itu menikah dgn laki-laki lain. Sebelum digauli oleh suami barunya, ia ditalak oleh suami barunya itu. Apakah dgn demikian dia sudah halal menikah lagi dgn suami lamanya? Rasulullah menjawab:
"Belum, sampai suami barunya itu mencicipi madunya sebagaimana suaminya yg pertama telah mencicipinya". (HR. Bukhari Muslim)
Perhatikanlah bagaimana bersih dan indahnya bahasa Rasulullah yg mengibaratkannya dgn madu.
Aisyah menceritakan, suatu kali seorang perempuan bertanya kepada Nabi, bagaimana caranya bersuci dari haid? Rasulullah menjawab, "Ambillah sepotong kapas yg sudah diolesi harum-haruman, kemudian bersihkan dengannya."
Perempuan itu bertanya lagi, "Bagaimana cara membersihkannya?"
Rasulullah menjawab, "Bersihkanlah dengannya!"
Perempuan itu masih bertanya lagi, "Bagaimana?"
Lalu Rasulullah berkata sambil menutupi wajahnya dgn pakaian, "Subhanallah, bersihkanlah!"
Kemudian Aisyah melanjutkan ceritanya: Lalu aku menarik perempuan itu dgn kuat dan mengatakan kepadanya, "Bersihkan bekas darahnya dgn kapas itu!"
Meskipun pertanyaan perempuan itu sangat urgent demi kesucian dan kesempurnaan ibadahnya, tapi Rasulullah tetap memakai bahasa yg sangat halus, yg paling pantas dgn fitrah pemalunya seorang perempuan. Rasulullah tak hanya mementingkan bagaimana pesan tersampaikan, tapi jg menimbang cara dan kalimat yg paling terhormat.
Amat disayangkan pd masa kita ini, sebagian ustadz dan dai yg menyampaikan ceramah kurang memperhatikan hal ini. Bahkan seperti disengaja untk memilih kosa kata vulgar demi membuat jamaah tertawa. Bagaimana kita akan mengajari umat perihal malu bila kalimat para penceramahnya tanpa sengaja mengikis malu sedikit demi sedikit. Atau dia bagaikan orang yg tak ada malu di depan jamaahnya.
Bukankah ceramahnya itu jg akan didengar oleh anak-istri, ipar-besan, dan keluarga serta handai tolannya. Tidakkah ia malu dgn mereka semua?
Dalam sebuah hadits yg sangat masyhur Rasulullah bersabda:
"Malu itu sebagian dari iman." (HR. Bukhari Muslim).
Sumber fimadani
other source : http://cnn.com, http://kabarmakkah.com, http://log.viva.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar