
وَلَمَّا ضُرِبَ ابْنُ مَرْيَمَ مَثَلا إِذَا قَوْمُكَ مِنْهُ يَصِدُّونَ * وَقَالُوا أَآلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلا جَدَلا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
Dan ketika putra Maryam (‘Iisaa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: "Manakah yg lebih baik tuhan-tuhan kami / dia (‘Iisaa)? Mereka tak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dgn maksud membantah saja, sebenarnya mereka adlh kaum yg suka bertengkar [QS. Az-Zukhruf : 58].Ada riwayat terkait ayat di atas sebagai berikut:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ، ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلا جَدَلا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
Dari Abu Umaamah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan petunjuk kecuali karena mereka melakukan perdebatan. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat : ‘Mereka tak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dgn maksud membantah saja, sebenarnya mereka adlh kaum yg suka bertengkar’ (QS. Az-Zukhruf : 58) [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3253 dan ia berkata : Ini adlh hadits hasan shahih]. Makna hadits tersebut adlh tidaklah kesesatan dan terjatuhnya mereka dlm kekufuran kecuali dgn sebab perdebatan, yaitu berbantah-bantahan dgn kebathilan terhadap Nabi mereka, menyembunyikan kebenaran dengannya, mengadu antara satu kebenaran dgn kebenaran yg lain dlm rangka membuat kontradiksi dan penafikan antara keduanya. b. Firman Allah ta’ala: مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلا الَّذِينَ كَفَرُوا
Tidak ada yg memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yg kafir [QS. Al-Mu’min : 5]. Sebagian ulama terdahulu menganggap ayat ni sebagai salah satu ayat yg paling keras mencela orang-orang yg memperdebatkan ayat-ayat Allah. عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ، قَالَ: آيَتَانِ مَا أَشَدَّهُمَا عَلَى الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي الْقُرْآنِ، مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلا الَّذِينَ كَفَرُوا و وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ
Dari Abul-‘Aaliyyah, ia berkata : Dua ayat yg paling keras mencela orang-orang yg memperdebatkan Al-Qur’an, yaitu : ‘Tidak ada yg memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yg kafir’ (QS. Al-Mu’min : 5) dan ‘Dan sesungguhnya orang-orang yg berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu, benar-benar dlm penyimpangan yg jauh (dari kebenaran)’ (QS. Al-Baqarah : 176) [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dlm Syu’abul-Iimaan no. 2078]. Sikap memperdebatkan ayat-ayat Allah ta’ala - baik berupa khabar maupun hukum - merupakan ciri khas orang-orang kafir dan musyrik. Hal itu dikarenakan hawa nafsu dan lemahnya keyakinan mereka terhadap ayat tersebut sehingga cenderung untk menolaknya. c. Firman Allah ta’ala: الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ الَّذِينَ آمَنُوا كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ
(Yaitu) orang-orang yg memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yg sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yg beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yg sombong dan sewenang-wenang [QS. Al-Mukmin : 35]. Sama seperti sebelumnya, ayat di atas merupakan dalil yg sangat jelas tentang larangan berbantah-bantahan untk memperdebatkan ayat Allah ta’ala, karena, d. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: الْمِرَاءُ فِي الْقُرْآنِ كُفْرٌ
Perdebatan tentang Al-Qur’an adlh kekufuran [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4603; shahih]. Yaitu perdebatan yg menyebabkan timbulnya keraguan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Diantaranya perdebatan terhadap ayat-ayat mutasyaabihaat yang seringkali menghasilkan pengingkaran terhadap Kalaamullah, fitnah, dan bahkan pertumpahan darah. عَنْ عَبْد اللَّهِ بْن عَمْرٍو، قَالَ: هَجَّرْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا، قَالَ: فَسَمِعَ أَصْوَاتَ رَجُلَيْنِ اخْتَلَفَا فِي آيَةٍ، فَخَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْرَفُ فِي وَجْهِهِ الْغَضَبُ، فَقَالَ: إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِاخْتِلَافِهِمْ فِي الْكِتَابِ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : Pada suatu hari aku bergegas-gegas menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada pagi hari. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar suara dari dua orang yg berselisih tentang ayat Al-Qur’an. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami dgn wajah yg diliputi kemarahan. Beliau bersabda : Sesungguhnya perkara yg membinasakan orang-orang sebelum kalian hanyalah perselisihan mereka tentang Al-Kitaab [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2666]. عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: سَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْمًا يَتَدَارَءُونَ، فَقَالَ: إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِهَذَا، ضَرَبُوا كِتَابَ اللَّهِ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ، وَإِنَّمَا نَزَلَ كِتَابُ اللَّهِ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا، فَلَا تُكَذِّبُوا بَعْضَهُ بِبَعْضٍ، فَمَا عَلِمْتُمْ مِنْهُ فَقُولُوا، وَمَا جَهِلْتُمْ فَكِلُوهُ إِلَى عَالِمِهِ
Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar suatu kaum yg bertengkar. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian hanyalah karena sebab ini. Mereka mempertentangkan Kitabullah sebagian dgn sebagian yg lainnya. Kitabullah turun hanyalah untk membenarkan satu dgn yg lainnya. Maka, janganlah kalian mendustakan sebagian dgn sebagian yg lainnya. Apa saja yg kalian ketahui darinya, maka katakanlah; dan apa saja yg kalian tak mengetahuinya, maka serahkan kepada orang yg mengetahuinya [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 85, Ahmad 2/185 & 195-196, Ibnu Hibbaan no. 1464, dan yg lainnya; hasan]. عَنْ زِيَادِ بْنِ حُدَيْرٍ، قَالَ: قَالَ لِي عُمَرُ: هَلْ تَعْرِفُ مَا يَهْدِمُ الْإِسْلَامَ؟، قُلْتُ: لَا، قَالَ: " يَهْدِمُهُ زَلَّةُ الْعَالِمِ، وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ، وَحُكْمُ الْأَئِمَّةِ الْمُضِلِّينَ "
Dari Ziyaad bin Hudair, ia berkata : ‘Umar pernah berkata kepadaku : Tahukah engkau apa yg merobohkan Islam ?. Aku menjawab : Tidak. Ia berkata : Yang merobohkannya adlh ketergelinciran ulama, perdebatan orang munafiq tentang Al-Kitaab, dan hukum para pemimpin yg menyesatkan [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 220, Al-Faryabiy dlm Shifatun-Nifaaq no. 31, Al-Baihaqiy dlm Al-Madkhal no. 833, dan yg lainnya; shahih]. Ibnu Hibbaan rahimahullah berkata: إِذَا مَارَى الْمَرْءُ فِي الْقُرْآنِ أَدَّاهُ ذَلِكَ إِنْ لَمْ يَعْصِمْهُ اللَّهُ إِلَى أَنْ يَرْتَابَ فِي الآيِ الْمُتَشَابِهِ مِنْهُ، وَإِذَا ارْتَابَ فِي بَعْضِهِ أَدَّاهُ ذَلِكَ إِلَى الْجَحْدِ، فَأَطْلَقَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَ الْكُفْرِ الَّذِي هُوَ الْجَحْدُ عَلَى بِدَايَةِ سَبَبِهِ الَّذِي هُوَ الْمِرَاءُ
Seseorang yg berdebat tentang Al-Qur’an, apabila Allah tak melindunginya, maka dpt menyebabkannya meragukan ayat-ayat mutasyaabihaat. Dan apabila ia telah meragukan sebagian ayat, maka itu akan menyebabkan pengingkaran. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memutlakkan nama kekufuran, yaitu (kufur) pengingkaran (juhuud) yg awal penyebabnya adlh karena perdebatan [Shahiih Ibni Hibbaan, 2/326]. Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata: والمعنى: إنّما يتمارى اثنان في آية، يجحدها أحدهما ويدفعها ويصير فيها إِلى الشك، فذلك هُوَ المراء الّذي هُوَ الكفر.وأما التنازع في أحكام القرآن ومعانيه فقد تنازع أصحاب رَسُول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في كثير من ذَلِكَ، وهذا يبين لك أن المراء الّذي هُوَ الكفر هُوَ الجحود والشك، كما قَالَ عَزَّ وَجَلَّ: وَلا يَزَالُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي مِرْيَةٍ مِنْهُ الآية..... ونهى السلف رضي الله عنهم عَن الجدال في الله جل ثناؤه وصفاته وأسمائه.وأما الفقه فأجمعوا عَلَى الجدال فيه والتناظر، لأنه علم يحتاج فيه إِلى رد الفروع عَلَى الأصول للحاجة إِلى ذَلِكَ، وليس الاعتقادات كذلك لأن الله عَزَّ وَجَلَّ لا يوصف عند الجماعة أهل السنة إلا بما وصف بِهِ نفسه أو وصفه بِهِ رَسُول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أو أجمعت الأمة عَلَيْهِ،
Makna nya (yaitu hadits : ‘Perdebatan tentang Al-Qur’an adlh kekufuran’) adlh : apabila ada dua orang yg saling berdebat tentang suatu ayat, lalu salah seorang diantara keduanya mengingkarinya, menolaknya, dan berusaha membawa ayat tersebut kepada keraguan; maka itulah perdebatan yg disebut dgn kekufuran. Adapun perselisihan tentang hukum-hukum dlm Al-Qur’an beserta makna-maknanya, maka para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun telah sering berselisih dlm hal tersebut. Ini menjelaskan kepada kalian bahwasannya perdebatan yg merupakan kekufuran adlh pengingkaran dan peraguan (terhadap Al-Qur’an), sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dlm keragu-raguan terhadap Al-Qur'an’ (QS. Al-Hajj : 55).... Kaum salaf radliyallaahu ‘anhum telah melarang berdebat tentang (Dzat) Allah, sifat-sifat-Nya, dan nama-nama-Nya. Adapun tentang fiqh, maka mereka bersepakat boleh untk berdebat dan berdiskusi padanya, karena ilmu dibutuhkan untk mengambalikan perkara cabang kepada yg pokok. Lain halnya dgn i’tiqaad. Menurut Ahlus-Sunnah, hal itu dikarenakan Allah ‘azza wa jalla tak dpt disifati kecuali dgn apa yg Ia sifatkan diri-Nya dengannya, / yg disifatkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, / yg telah disepakati oleh umat [Jaami’u Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih, 2/928-929]. e. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ
Orang yg paling dibenci Allah adlh orang yg paling keras dlm perbantahan/pertengkaran [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2457 & 7188 dan Muslim no. 2668]. f. Hadits: عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَتَلَاحَى رَجُلَانِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَقَالَ: خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ، فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ، وَالسَّابِعَةِ، وَالْخَامِسَةِ
Dari ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dari rumahnya untk memberitahukan Lailatul-Qadr. Lalu ada dua orang dari kaum muslimin yg (bertengkar) saling mencela. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Aku keluar untk memberitahukan kepada kalian tentang Lailatul-Qadr. Lalu Fulaan dan Fulaan (bertengkar) saling mencela, sehingga (pengetahuan tentang Lailatul-Qadr) diangkat. Semoga itu baik bagi kalian. Maka carilah Lailatul-Qadr itu pd hari kesembilan, ketujuh, dan kelima[1] [Diriwayat oleh Al-Bukhaariy no. 2023]. Al-Bukhaariy meletakkan hadits di atas dlm Baab : Raf’il-Ma’rifah Lailatil-Qadr li-Talaahan-Naas (Diangkatnya Pengetahuan tentang Lailatul-Qadr karena Orang-Orang Saling Bertengkar/Mencela). Dalam riwayat Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu yang dibawakan oleh Muslim dlm Shahiih-nya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَإِنِّي خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِهَا، فَجَاءَ رَجُلَانِ يَحْتَقَّانِ مَعَهُمَا الشَّيْطَانُ فَنُسِّيتُهَا، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، الْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
Sesungguhnya aku keluar untk memberitahukan kepada kalian tentangnya. Lalu datanglah dua orang yg saling berdebat yg setan bersama keduanya, sehingga aku terlupakan. Maka carilah ia pd sepuluh hari terakhir bulan Ramadlaan. Carilah pd hari kesembilan, ketujuh, dan kelima [Shahiih Muslim no. 1167]. An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan makna rajulaani yahtaqqaani adalah dua orang yg saling mengklaim dirinya benar. g. ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahumallah berkata: مَنْ جَعَلَ دِينَهُ غَرَضًا لِلْخُصُومَاتِ، أَكْثَرَ التَّنَقُّلَ
Barangsiapa yg menjadikan agama sebagai sarana/tujuan untk berdebat, maka ia akan banyak berpindah-pindah pemahaman agamanya [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 312; shahih]. h. Al-Hasan (Al-Bashriy) pernah berkata kepada orang yg hendak mendebatnya : أَمَّا أَنَا فَقَدْ أَبْصَرْتُ دِينِي فَإِنْ كُنْتَ أَضْلَلْتَ دِينَكَ فَالْتَمِسْهُ
Adapun aku, maka aku telah tahu tentang agamaku. Apabila engkau telah menghilangkan agamamu, maka carilah [Diriwayatkan oleh Al-Faryabiy dlm Al-Qadar no. 379, Al-Aajuriiy dlm Asy-Syarii’ah (atsar) no. 241; hasan lighairihi]. i. Dari Ahmad bin Abil-Hawaariy, ia berkata : Telah berkata kepadaku ‘Abdullah bin Al-Busriy - dan ia termasuk diantara orang-orang yg khusyuu’ - : لَيْسَ السُّنَّةُ عِنْدَنَا أَنْ تَرُدَّ عَلَى أَهْلِ الأَهْوَاءِ، وَلَكِنَّ السُّنَّةَ عِنْدَنَا أَنْ لا تُكَلِّمَ أَحَدًا مِنْهُمْ
Sunnah di sisi kami bukanlah membantah para pengikut hawa nafsu, akan tetapi sunnah di sisi kami adlh tak berbicara kepada seorang pun diantara mereka [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dlm Al-Ibaanah 2/471]. Apa yg dikatakan oleh ‘Abdullah bin Al-Busriy sama seperti yg dikatakan Al-Hasan dan Ibnu Siiriin rahimahumullah: لَا تُجَالِسُوا أَصْحَابَ الْأَهْوَاءِ، وَلَا تُجَادِلُوهُمْ، وَلَا تَسْمَعُوا مِنْهُمْ
Jangan kalian duduk-duduk bersama pengikut hawa nafsu, jangan berdebat dgn mereka, dan jangan mendengarkan perkataan mereka [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 415; shahih]. Mengapa? Jawabannya ada pd riwayat perkataan Abu Qilaabah rahimahullah berikut: لَا تُجَالِسُوا أَهْلَ الْأَهْوَاءِ وَلَا تُجَادِلُوهُمْ، فَإِنِّي لَا آمَنُ أَنْ يَغْمِسُوكُمْ فِي ضَلَالَتِهِمْ، أَوْ يَلْبِسُوا عَلَيْكُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْرِفُونَ
Jangan kalian duduk-duduk bersama pengikut hawa nafsu dan jangan berdebat dgn mereka. Karena aku khawatir mereka akan menjerumuskan kalian kepada kesesatan mereka / membuat kerancuan kepada kalian pd apa yg telah kalian ketahui sebelumnya [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 405; shahih]. Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah menjelaskan ada 3 (tiga) jenis perdebatan yg tercela, yaitu: 1. Berdebat dgn kebathilan untk melenyapkan kebenaran. Allah ta’ala berfirman: وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ
Dan mereka membantah dgn (alasan) yg bathil untk melenyapkan kebenaran dgn yg bathil itu [QS. Al-Mukmin : 5]. 2. Berdebat tentang kebenaran setelah jelas kebenaran tersebut. Allah ta’ala berfirman: يُجَادِلُونَكَ فِي الْحَقِّ بَعْدَمَا تَبَيَّنَ
Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah jelas kebenaran itu [QS. Al-Anfaal : 6]. 3. Berdebat tentang perkara yg tak diketahui oleh pihak yg berdebat. Allah ta’ala berfirman: هَا أَنْتُمْ هَؤُلاءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ
Beginilah kamu, kamu ni (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yg kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah-membantah tentang hal yg tak kamu ketahui? [QS. Aali ‘Imraan : 66]. [Ar-Radd ’alal-Mukhaalif, hal. 51-52]. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ، وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ، وَإِنْ كَانَ مَازِحًا، وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ "
Aku menjamin rumah di tepi surga bagi orang yg meninggalkan perdebatan meskipun ia benar, (menjamin) rumah di tengah surga bagi orang yg meninggalkan dusta meskipun hanya sekedar bergurau, serta (menjamin) rumah di surga yg paling tinggi bagi orang yg membaguskan akhlaqnya [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4800; hasan]. Tidak dpt dipungkiri menahan untk tak mendebat dgn orang lain saat ia memandang orang lain salah dan dirinya benar adlh sangat sulit. Suka berdebat itu adlh tabiat, sehingga seringkali seseorang melakukannya mempunyai sangkaan bahwa apa yg dilakukannya benar dan mendapatkan pahala. Ia menganggap dirinya sebagai penolong agama Allah melalui debatnya. Tentu saja, tak seperti itu keadaannya. Ar-Raaghib Al-Ashfahaaniy rahimahullah pernah berkata: الخصومة عديمة الفائدة قليلة العائدة، فإن الجدل مع ما فيه قد يوقظ الفهم و يثير الأنفة لإقتباس العلم، و الخصومة لا تثمر إلا بالعداوة و إنكار الحق، و لهذا جعلها الله شرا من الجدال فقال تعالى:" بل هم قوم خصمون ". و قال:" فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ " أي جيد الخصومة، " مُبِينٌ " يس77. و لم يذكر الخصام في موضع إلا عابه.
و أيضا، فالمتجادلان يجريان مجرى فحلين تعاديا، و كبشين تناطحا، و رئيسين تحاربا، و كل واحد منهما يجتهد أن يكون هو الفاعل، و صاحبه المنطبع، و القائل كالمؤثر، و السامع كالمتأثر، و لم يتولد منهما خير بوجه.
و قال حكيم: المجادل المدافع يقع في نفسه عند الخوض في الجدال ألا يقنع بشيء، و من لا يقنعه إلا أن يقنع، فما إلى إقناعه سبيل، و لو اتفقت عليه الحكماء بكل بينة، بل لو اجتمعت عليه الأنبياء بكل معجزة كما قال تعالى:" وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَى وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلا مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ" الأنعام111.
Berbantah-bantahan/pertengkaran itu tak ada manfaatnya lagi sedikit keuntungannya. Sesungguhnya berdebat dgn orang yg mempunyai ilmu kadangkala memberikan pemahaman dan membangkitkan semangat untk mencari ilmu. Adapun (sekedar) berbantah-bantahan/pertengkaran tidaklah menghasilkan kecuali permusuhan dan pengingkaran terhadap kebenaran. Oleh karena itu, Allah ta’ala menganggap berbantah-bantahan/pertengkaran lebih buruk daripada perdebatan. Allah ta’ala berfirman : ‘Sebenarnya mereka adlh kaum yg suka bertengkar’ (Az-Zukhruf : 58). Allah ta’ala juga berfirman : ‘Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yg nyata’ (QS. Yaasiin : 77). Allah tidaklah menyebut kata al-khishaam (perbantahan/pertengkaran) dlm beberapa tempat dlm pd Al-Qur’an kecuali mencelanya. Dua orang yg melakukan perdebatan seperti dua ekor kuda jantan yg saling bermusuhan, / seperti dua ekor domba yg saling menyeruduk. Masing-masing berusaha menjadi pelaku utama sedangkan lawannya menjadi orang yg terpengaruh olehnya. Orang yg berkata adlh pihak yg memberikan pengaruh dan orang yg mendengar adlh pihak yg dipegaruhi. Maka, tak ada kebaikan apapun yg timbul dari dua orang tersebut. Seorang yg bijak pernah berkata : Orang yg gemar berdebat dan mempertahankan diri pasti tak akan pernah puas saat melakukan perdebatan. Barangsiapa yg tak pernah merasa puas kecuali setelah ia merasa puas, maka tak ada jalan untk memenuhi kepuasannya itu. Meskipun orang-orang bijak berkumpul memberikan nasihat dan para nabi menunjukkan mukjizatnya, sebagaimana firman Allah ta’ala: ‘Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yg telah mati berbicara dgn mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka niscaya mereka tak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tak mengetahui’ (QS. Al-An’aam : 111) [Adz-Dzarii’ah ilaa Makaarimisy-Syarii’ah, hal. 127]. Asy-Syaathibiy rahimahullah menukil: أن أبا العرب التميمي حكى عن ابن فروخ أنه كتب إلى مالك بن أنس إن بلدنا كثير البدع ، وإنه ألف كلاما في الرد عليهم.
فكتب إليه مالك يقول له : إن ظننت ذلك بنفسك ، خفت أن تزل فتهلك ، لا يرد عليهم إلا من كان ضابطا عارفا بما يقول لهم ، لا يقدرون أن يعرجوا عليه ، فهذا لا بأس به ، وأما غير ذلك ، فإني أخاف أن يكلمهم فيخطئ فيمضوا على خطئه ، أو يظفروا منه بشيء فيطغوا ويزدادوا تماديا على ذلك ، انتهى
Abul-‘Arab menghikayatkan dari Ibnu Farruukh bahwasanya ia pernah menulis surat kepada Maalik bin Anas menjeaskan di negerinya banyak tersebar bid’ah dan ia (Ibnu Farruukh) menulis perkataan untk membantah mereka. Lalu Maalik membalas suratnya dan berkata kepadanya : ‘Apabila engkau menyangka dirimu dikhawatirkan akan tergelincir sehingga akan membinasakanmu, maka jangan engkau bantah mereka (ahlul-bida’). Kecuali itu dilakukan oleh orang yg kokoh lagi berilmu tentang apa yg akan dikatakan kepada mereka sehingga mereka tak mampu mengalahkannya. Maka ni tak mengapa. Adapun selain itu, aku khawatir ia (orang yg membantah) berbicara kepada mereka lalu keliru dan kemudian mereka fokus menghajar kekeliruannya. Atau mereka dpt mengalahkannya dlm satu hal, sehingga mereka malah melampaui batas dan semakin menjadi-jadi di atas bid’ahnya tersebut [Al-I’tishaam, 1/44]. Secara umum, kita tetap dianjurkan untk tak memperbanyak perdebatan dan meninggalkannya, kecuali pd hal yg membawa manfaat dan menolak mafsadat yg besar pd Islam dan kaum muslimin dimana hal itu tak dpt dilakukan kecuali dgn perdebatan. Apabila seseorang melihat orang lain melakukan bid’ah dan penyimpangan dlm agama, hendaknya ia menasihatinya dgn kelembutan, bukan dgn langsung mendebatnya. Karena apabila ia (langsung) mendebatnya, maka itu akan dianggap sebagai tipuan Iblis sehingga orang yg didebat akan mengabaikannya dan tetap melakukan bid’ah. Bahkan bisa jadi bid’ah itu tambah menguat di hatinya melalui perdebatan yg dilakukan (karena orang yg berdebat cenderung merasa benar, lawannya salah, dan mempertahankan pendapatnya mati-matian). Jika nasihat yg diberikan tak membuahkan manfaat bagi yg mendengarnya, hendaknya ia meninggalkannya dan melakukan aktivitas lainnya. Orang yg terbiasa berdebat dan orang lain memberikan pujian terhadapnya, maka dpt timbul sikap riyaa’, sombong, senang pujian, dan cenderung tak mau menerima kritikan meski ia nyata-nyata salah. Itulah awal kehancuran bagi dirinya. Jika diringkas, perdebatan yg dicela adalah: 1. Perdebatan dgn kebathilan untk melenyapkan kebenaran yg ada dlm Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’. 2. Perdebatan untk membela kebathilan setelah nyata kebathilannya berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’. 3. Perdebatan terhadap perkara-perkara yg tak diketahui oleh orang yg berdebat. 4. Perdebatan dgn orang yg susah diharapkan kembali kepada kebenaran dari kalangan pelaku bid’ah dan orang-orang yg menyimpang lainnya, karena nampak dari mereka sikap sombong terhadap kebenaran, permusuhannya yg keras terhadap orang-orang yg benar, dan kukuhnya dlm membela kebathilan. 5. Perdebatan pd perkara yg telah jelas dan tak ada kesamaran padanya, baik bagi yg mendebat maupun yg didebat. 6. Perdebatan yg tak diniatkan ikhlash untk menggapai keridlaan Allah ta’ala.Wallaahu a’lam bish-shawwaab. Bersambung, insya Allah. [Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 02-05-2015 - Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 37-38, Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo, dgn beberapa referensi lain sebagai tambahan penjelasan].Silakan baca pembahasan sebelumnya :Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (1) - Pendahuluan & Berpegang pd Manhaj ShahabatUshuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (2) - Berpegang pd Manhaj ShahabatUshuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (3) - Bid’ahUshuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (4) - Bid’ahUshuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (5) - Larangan Bermajelis dgn Ahlul-Ahwaa’Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (6) - Tanda-Tanda Ahlul-Bid’ahUshuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (7) - Meninggalkan Perdebatan dlm Masalah Agama
[1] Para ulama berbeda pendapat tentang maksud hari kesembilan, ketujuh, dan kelima di sini. Sebagian ulama ada yg berpendapat bahwa maksud hari kesembilan adlh sembilan hari terakhir, yaitu hari/malam ke-21 Ramadlaan. Begitu seterusnya. Ini yg dirajihkan oleh Al-Baajiy rahimahullah. Ulama lain berpendapat maksud hari kesembilan adlh hari ke-29 Ramadlaan. Ini yg dirajihkan Ibnu Haajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah [lihat : Tanwiirul-Hawaalik, 1/304].
other source : http://abul-jauzaa.blogspot.com, http://lintas.me, http://slideshare.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar