Selasa, 12 Januari 2016

Tidak Tahu Tapi Sok Tahu, yang Tahu Tapi Belagu

Tidak Tahu Tapi Sok Tahu, yang Tahu Tapi Belagu fenanote.blogspot.com - Masalahnya belakangan ni -saya melihat- menjadi sangat rumit, padahal sejatinya masalah itu adlh masalah yg biasa dan ringan saja. Dalam masalah syariah tentunya, / lebih tepatnya masalah yg masih dlm perdebatan ulama. Artinya ulama belum sepakat / memang tidaak sepakat tentang hukum perkara tersebut.
Menjadi rumit karena yg "tidak tahu" justru menjadi paling vocal dan banyak "omong", dan yg "mengerti" pun bersikap sombong. Maksudnya begini, ada masalah yg kata madzhab A hukumnya A, tapi madzhab B punya fatwa B, berbeda dgn madzhab A, dan madzhab C lain lagi fatwanya. Jadi 3 suara di sini.
Orang Yang Tidak Tahu, Tapi Sok Tahu
Orang yg hanya tahu satu pendapat, termasuk orang yg "tidak tahu", adanya perbedaan ini, ia hanya tahu hukum perkara tersebut A -misalnya- karena ia belajar dgn guru yg mengajarkan madzhab A. anehnya, ia hanya tahu satu itu saja tapi ia sangat vocal dan banyak "omong"-nya dan sok tahu. ketika melihat ada yg berbeda, langsung dibantah, dibicarakan sana sini dgn pengetahuan yg minim yg ia milik.
Padahal mestinya sebagai orang yg tak tahu, yg harus dilakukan pertama kali itu bertanya, "benarkah ada amalan/ibadah seperti itu?". Bukan malah menyalahkan, dan terus-terussan membicarakan orang tersebut. Akhirnya karena sering dibicarakan, menular kepada orang "tidak tahu" lainnya yg punya sifat sama; sama-sama vocal, banyak omong, dan tak mengerti perbedaan pendapat. Walhasil masalah yg sederhana itu terkesan menjadi sangat rumit sekali.
Orang Yang Tahu, Tapi Belagu
Yang orang "pintar"-nya pun sombong karena pengetahuannya itu. Dia sangat tahu adanya perbedaan yg ada, bukan hanya tahu, bahkan ia hafal dalil dan argument masing-masing madzhab dlm perkara tersebut. Dan karena memang orang yg "mengerti", ia bisa mengambil keputusan, mana pendapat yg menurutnya lebih dekat kepada kebenaran. Tapinya belagu.
Belagu-nya, ia mengikuti pendapat madzjhab B -misalnya- dari 3 pendapat itu, dan ni tak ada masalah. Tapi -masalahnya- dia malah mengerjakan amalan yg diperdebatkan itu di depan khalayak yg sudah sangat terbiasa dgn pendapat madzhab A. seakan ingin menunjukkan ia tak mainstream di tengah masyarakat yg belum siap melihat perbedaan.
Mau tak mau, pastinya ni akan menimbulkan gesekan dgn khalayak yg sudah terbiasa dgn satu pendapat tersebut, apalagi di dalamnya ada orang yg "tidak tahu" yg vocal dan banyak "omong" itu. Walhasil yg dikerjakan oleh si orang "mengerti" itu malah jadi fitnah dan pembiacaraan negative bagi sekitarnya. Karena bagaimanapun, apa yg dikerjakan itu pasti mengundang orang untk membicarakannya. Sudah maklum, yg berbeda pasti menjadi objek perhatian.
Mengikuti satu pendapat madzhab, walaupun berbeda dgn kebanyakan orang / masyarakat sekit tak ada yg salah. Sama sekali tak salah. Akan tetapi mestinya perlu dilihat jg tingkat kesiapan public terhadap perbedaan itu. Jangan sampai akhirnya malah membuat fitnah bagi sekitar dgn mendeklarasikan perbedaan dlm perkara yg orang setempat sudah terbiasa dan sudah paten dgn pendapat madzhab yg satu.
Keluar dari Perbedaan Itu Utama
Mungkin ia lupa / tak tahu bahwa ada kaidah fiqih yg sangat mengambarkan sekali bagaimana ulama fiqih itu benar-benar peduli akan terwujudnya persatuan umat walaupun dlm bingkai perbedaan pendapat. الخروج من الخلاف أولى وأفضل "Keluar dari perbedaan adlh lebih utama dan lebih baik"[2]
Ini dijelaskan oleh Imam Taajuddin Al-Subki dlm kitab Al-Asybah wa Al-Nazoir. Ketika membahas ni dlm kitabnya, beliau seperti menasihati bahwa perbedaan dlm masalah fiqih itu sesuatu yg tak bisa dihindari, maka kita lah yg harusnya cerdas dlm menyikapi itu.
Dengan tak menimbulkan sesuatu yg akhirnya malah melahirkan silang pendapat tajam di depan khalayak, yg padahal perkara itu bukanlah perkara yg sampai pd pada level Ijma', itu masalah yg terbukan ijtihad di dalamnya.
Dengan tak jg menonjolkan itu depan khlayak yg punya pendapat berbeda, dan tetap hidup seirama dgn mereka. Toh tak ada yg salah mengikuti alur khalayak dlm masalah fiqih, kenapa harus memaksakan satu pendapat yg akhirnya malah jadi boomerang lalu merobohkan persatuan yg sudah ada.
Dan perkara menghindari fitnah serta perpecahan dlm perbedaan pendapat ni sudah diajarkan jauh-jauh hari oleh ulama terdahulu, bahkan para sahabat. berikut beberapa contohnya;
Sahabat Abdullah bin Mas'ud
Sahabat Abdullah bin Mas'ud dgn tegas menyatakan bahwa seorang musafir, afdholnya ialah sholat qashar, tak tamm (sempurna), jika ada musafir yg sholatnya sempurna 4 rokaat, beliau mengatakan itu adlh mukholafatul-aula [مخالفة الأولى] (menyelisih pendapat yg utama).
Akan tetapi dgn rela ia meninggalkan pendapatnya dan ikut sholat sempurna 4 rokaat di belakang Utsman bin Affan yg memandang berbeda dengannya dlm masalah ini. lalu Ibnu Mas'ud ditanya: "kau mengkritik Utsman, tapi kenapa kau mnegikutinya sholat 4 rokaat?". Ibn Mas'ud menjawab: [الخلاف شر] "berbeda itu buruk!".[ Fathul-Baari 2/564]
Karena tahu, bahwa jika ia menonjolkan perbedaan itu depan umum yg tak semuanya paham masalah tersebut, Ibnu Mas'ud memilih untk tetap mengikuti Utsman walaupun itu menyelisih pandangannya sendiri.
Imam Malik bin Anas
Tentu jg kita tahu cerita tentang Imam Malik yg ditawari oleh Khalifah Al-Manshur untk menjadikan bukunya "Al-Muwatho'" sebagai kitab Negara yg menjadi pegangan hukum bagi rakyatnya. Tapi Imam malik menolak langusng tawaran itu:
يا أمير المؤمنين لا تفعل هذا فإن الناس قد سبقت إليهم أقاويل ، وسمعوا أحاديث ، ورووا روايات ، وأخذ كل قوم بما سبق إليهم ، "wahai Amirul-mikminin, jangan lakukan itu! Orang-orang sudah terbiasa dgn pendapat-pendapat yg mereka dengar sebelumnya, mereka telah mendengar hadits-hadits, mereka jg telah melihat periwayatan, dan tiap kaum telah melakukan ibadah sesuai pendapat yg mereka ambil sebelumnya" [Hujjatullah Al-Balighoh 1/307]
Imam Malik tak memaksakan itu karena khawatir nantinya akan terjadi perpecahan kalau nantinya penduduk dipaksa untk mengikuti Imam Malik sedangkan mereka telah beribadah sesuai pendapat ulama yg mereka ikuti sebelumnya.
Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi'i
Kita jg tahu secara detail bagaiman Imam Syafi'i meninggalkan qunut subuh ketika menjadi Imam untk para pengikut Imam Abu Hanifah yg tak melihat adanya kesunahan qunut dlm sholat subuh, di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah.
Padahal Imam Syafi'i-lah pelopor qunut subuh dan mnejadikannya sunnah muakkad dlm sholat subuh yg jika meninggalkannya, maka sunnah diganti dgn sujud sahwi. Tapi beliau rela meninggalkan itu, karena tahu dimana ia saat itu. [Adab Al-Ikhtilaf fi Al-Islam 117]
Masing-Masing Sadar Diri
Jadi, yg tak tahu, mestinya sadar diri kalau memang hanya tahu satu hadits jangan berlagak seperti ahli hadits. Kalau hanya tahu satu pendapat, tahan diri untk tak berkomentar ketika melihat ada yg berbeda sebelum bertanya.
Yang akhirnya malah membicarakan keburukan orang, padahal yg namanya muslim tak diperkenankan berbicara kecuali yg baik. Kalau tak bisa bicara baik, maka diam saja. Begitu perintah Nabi saw.
Jangan akhirnya malah berbicara sesuatu yg tak dipahami. Firman Allah swt; "Dan janganlah kau bicarakan sesuatu yg kau tak ketahui ilmunya" (QS. Al-Isra' 36)
Yang paham dan tahu adanya perbedaan pendapat pun sejogjanya bersikap bijak dlm mengamalkan pendapatnya itu. Dan lebih cerdas melihat kondisi khalayak, apakah siap / tidak.
Karena orang yg "mengerti" itu bukan hanya paham apa yg dikerjakan, tapi ia jg harus paham kapan harus mengerjakan pekerjaannya itu.
Wallahu a'lam

other source : http://cnn.com, http://zarkasih20.blogspot.com, http://viva.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

All content at MY BLOG was found freely distributed on the internet and is presented for informational purposes only.
Images / photos / videos found in this site reserved by its respective owners.
We does not upload or host any files.
Home | DMCA | Contact